UMUM
Pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan bangsa (UU Sisdiknas no.
20 tahun 2003). Pengertian ini menunjukkan pentingnya pendidikan bagi
perkembangan seseorang. Oleh karena itu, berbagai pihak berusaha menciptakan
kondisi dan pendekatan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Pada awalnya pembelajar dianggap seperti
kertas kosong, sehingga dapat ditulisi apa saja. Anggapan ini menggambarkan
bahwa kurang adanya peran aktif pembelajar saat proses pembelajaran, karena
mereka hanya menerima apa saja yang diajarkan (pasif). Pembelajaran memang
tetap dapat berjalan, namun dapat membuat kreativitas berpikir pembelajar
kurang atau bahkan tidak terasah. Hal ini sangat disayangkan, karena setiap
pembelajar memiliki kecerdasan masing-masing. Oleh karena itu, dewasa ini
pendekatan konstruktivis dilihat sebagai pendekatan yang mampu mendorong
peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya secara aktif. Peserta
didik tidak lagi dilihat sebagai kertas kosong, tetapi pribadi yang memiliki bekal
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, bekal pengetahuan yang dimiliki peserta
didik akan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan pengalaman baru sehingga
menghasilkan pengetahuan baru. Untuk memperoleh pemahaman tentang pendekatan
konstruktivis, kita perlu menemukan prinsipnya dalam filsafat konstruktivisme.
Filsafat konstruktivisme dikembangkan
oleh Giambatista Vico seorang epistemolog dari Italia. Bagi Vico, pengetahuan
selalu merujuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Filsafat konstruktivisme
beranggapan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia melalui
interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Ada dua
bentuk konstruktivisme dalam pembelajaran, yaitu konstruktivisme
psikologis/individu dan sosial.
Konstruktivisme psikologis/individu
dikembangkan oleh Jean Piaget. Menurut Piaget, pengetahuan terbentuk dalam
intelek individu sebagai hasil interaksinya dengan objek, fenomena pengalaman
dan lingkungan tertentu. Piaget menekankan pada pembentukan makna individual. Sedangkan,
konstruktivisme sosial dikembangkan oleh Vygotsky. Pada konstruktivisme sosial,
pengetahuan yang sudah terbentuk pada masing-masing individu dikonstruksikan
kembali setelah terjadi interaksi dengan obyek, fenomena pengalaman dan
lingkungan yang baru. Vygotsky menekankan pada konteks sosial dan kultural yang
melingkupi pembelajar. Pada makalah ini, kita akan bersama-masa mengkaji
pendekatan konstruktivis sosial.
PENDEKATAN
KONSTRUKTIVIS SOSIAL
Secara umum, pendekatan konstruktivis
sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan
itu dibangun dan dikonstruksikan bersama (mutual). Pendekatan konstruktivis sosial
ini sangat dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif Vygotsky (1896-1934).
Vygotsky mengatakan bahwa perkembangan anak tidak bisa dipisahkan dari kegiatan
sosial dan kultural. Dia percaya bahwa perkembangan memori, perhatian, dan
nalar melibatkan pembelajaran untuk menggunakan alat yang ada dalam masyarakat,
seperti bahasa, sistem matematika, dan strategi memori. Teori Vygotsky menarik
banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu
dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Dengan kata lain, di samping
individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses
pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan
komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga
pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan.
Pendekatan konstruktivis sosial
menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di kelas. Prinsip-prinsip
pendekatan konstruktivis sosial adalah:
1.
Pengetahuan
dibangun/dikonstruksikan bersama.
2.
Pengetahuan
dipengaruhi oleh konteks dan situasi sosial tertentu (situated cognition).
Peran
guru dalam pembelajaran yaitu harus menciptakan banyak kesempatan bagi murid
untuk belajar dengan guru dan teman sebaya dalam mengkonstruksi pengetahuan
bersama. Jadi, guru berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing ketimbang sebagai
pengatur dan pembentuk pembelajaran anak. Berikut ini beberapa karakteristik
kelas konstruktivis sosial, yaitu:
1.
Tujuan
penting dari kelas ini adalah konstruksi makna kolaboratif.
2.
Guru
memantau perspektif, pemikiran dan perasaan murid.
3.
Guru
dan murid saling belajar dan mengajar.
4.
Interaksi
sosial mendominasi kelas.
5.
Kurikulum
dan isi fisik dari kelas mencerminkan minat murid dan dipengaruhi oleh kultur
mereka.
Asumsi
penting dari pendekatan konstruktivis sosial adalah situated cognition. Situated
cognition mengacu pada ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan dalam konteks
sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang. Oleh karena itu, dalam
pembelajaran konstruktivis sosial perlu menciptakan situasi seperti yang
terjadi di dunia riil.
Guru dan teman
sebaya sebagai kontributor bersama untuk pembelajaran murid
Guru
dan teman sebaya atau sekelas dapat memberi kontribusi bersama untuk
pembelajaran murid. Ada empat alat untuk melakukan metode ini, yaitu scaffolding, pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship), tutoring, dan pembelajaran kooperatif
(Rogoff, Turkanis, & Barlett, 2001).
1.
Scaffolding
Scaffolding adalah teknik
mengubah level dukungan sepanjang jalannya sesi pengajaran. Orang yang lebih
ahli (guru atau teman sebaya yang lebih pandai) menyesuaikan jumlah
bimbingannya dengan kinerja murid. Para peneliti menemukan bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman
sebaya dalam pembelajaran kolaboratif, murid akan terbantu dalam proses
belajarnya (Pressly,dkk., 2001; Yarrow & Topping, 2001).
2.
Pelatihan
Kognitif/ Cognitive Apprenticeships
Istilah “pelatihan” atau “magang” (apprenticeship) menunjukkan pentingnya
aktivitas dalam pembelajaran dan menjelaskan sifat dari pembelajaran yang
ditempatkan dalam suatu konteks. Pendekatan cognitive
apprenticeships menggunakan pembimbing yang berpengetahuan luas, atau
“master” (pakar) untuk memberikan model, demonstrasi dan koreksi dalam
tugas-tugas belajar, serta ikatan pribadi yang memotivasi bagi para peserta
magang yang lebih muda atau kurang pengalaman selama mereka melaksanakan dan
menyempurnakan berbagai tugas.
Allan Collins, dkk mengatakan bahwa
pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di sekolah telah terlalu terpisah
dari penggunaannya di dunia luar sekolah. Ada banyak model cognitive apprenticeships, tetapi sebagian besar memiliki enam
fitur berikut:
a.
Siswa
mengamati seorang ahli (biasanya guru) yang memberi model/contoh kinerja.
b.
Siswa
mendapat dukungan eksternal melalui coaching atau tutoring.
c.
Siswa
menerima scaffolding konseptual, yang
kemudian dihilangkan secara gradual saat siswa menjadi lebih kompeten.
d.
Siswa
terus mengartikulasikan pengetahuan mereka, memindahkan pemahamannya tentang
proses dan isi yang sedang dipelajari ke dalam bentuk kata-kata.
e.
Siswa
merefleksikan kemajuannya, membandingkan problem
solving-nya dengan kinerja ahli dan kinerjanya sendiri sebelumnya.
f.
Siswa
dituntut untuk mengeksplorasi cara-cara baru untuk menerapkan apa yang mereka
pelajari, siswa berinovasi mencari cara-cara yang belum mereka praktikan.
Aspek
kunci dari pelatihan kognitif adalah evaluasi atas kapan seorang pembelajar
sudah siap diajak ke langkah selanjutnya.
3.
Tutoring
Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif
antara pakar dengan pemula. Tutoring
bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak, atau antara anak yang pandai
dengan anak yang kurang pandai. Tutoring dapat dilakukan dengan teman sebaya
dan teman lintas usia. Tutoring teman sebaya, seorang murid mengajar murid
lainnya. Dalam tutoring teman sebaya,
teman yang mengajar biasanya teman sekelas. Sedangkan tutoring teman lintas usia, teman yang mengajar biasanya lebih tua
usianya. Tutoring teman lintas usia biasanya
lebih baik dibandingkan tutoring
teman sebaya. Teman yang lebih tua biasanya lebih pandai ketimbang teman sebaya.
Para peneliti menemukan bahwa tutoring
teman sering kali membantu prestasi murid, tutoring
memberi manfaat bagi tutor maupun yang diajari, terutama ketika tutor yang lebih
tua adalah murid berprestasi. Mengajari orang lain tentang sesuatu adalah cara
terbaik untuk belajar.
4.
Pembelajaran
Kooperatif
Pembelajaran
kooperatif terjadi ketika murid bekerja sama dalam kelompok kecil (kelompok
belajar) untuk saling membantu dalam belajar. Periset telah menemukan bahwa
pembelajaran kooperatif dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan
prestasi, apabila syarat-syarat berikut terpenuhi yaitu:
a.
Disediakan
penghargaan kepada kelompok. Penghargaan diberikan kepada kelompok sehingga
anggota kelompok itu dapat memahami bahwa membantu orang lain adalah demi
kepentingan mereka juga.
b.
Individu
dimintai pertanggung jawaban. Perlu dilakukan evaluasi kontribusi individu
dengan tes individual. Tanpa adanya evaluasi, beberapa murid mungkin akan
malas-malasan atau bahkan ada yang merasa diabaikan karena merasa dirinya tidak
memberikan kontribusi.
Jika
kondisi penghargaan dan akuntabilitas individual di atas terpenuhi, maka
pembelajaran kooperatif akan meningkatkan prestasi di grade yang berbeda-beda, dan meningkatkan prestasi di bidang
keterampilan dasar seperti pemecahan masalah/problem solving.
Dalam
kelompok belajar, biasanya terjadi pertambahan motivasi untuk belajar.
Pembelajaran kooperatif juga memperbesar interdependensi dan hubungan dengan
murid lain. Dalam sebuah kelompok belajar, murid biasanya mempelajari satu
bagian dari unit yang lebih besar dan kemudian mengajarkan bagian itu kepada
kelompok. Saat murid mengajar sesuatu kepada orang lain, mereka cenderung
belajar lebih mendalam. Ada sejumlah pendekatan kooperatif telah dikembangkan,
antara lain Student-Teams-Achievement
Divisions (STAD), jigsaw, belajar
bersama, investigasi kelompok dan penulisan kooperatif. Pembelajaran kooperatif
perlu didukung oleh komunitas yang kooperatif pula.
Menyusun
Kelompok Kerja Kecil
Dalam menyusun kelompok kerja, kita
perlu membuat keputusan tentang bagaimana menyusun kelompok, membangun
keterampilan kelompok, dan menstrukturisasi interaksi kelompok. Pendekatan
pembelajaran kooperatif umumnya merekomendasikan kelompok heterogen dengan
diversitas dalam kemampuan, latar belakang etnis, status sosio-ekonomi, dan
gender. Beberapa pakar merekomendasikan agar saat membentuk kelompok yang
heterogen secara etnis dan sosioekonomis, memperhatikan komposisi kelompok itu.
Salah satu rekomendasinya adalah tidak membuat komposisi itu terlalu jelas.
Jadi, anda bisa memvariasikan karakteristik sosial yang berbeda (etnis,
sosio-ekonomi, status dan gender) secara bersamaan. Rekomendasi lainnya adalah
tidak membentuk kelompok yang hanya mengandung satu murid minoritas; dengan
cara ini murid minoritas itu tidak akan menjadi “pusat perhatian tunggal”.
Pembelajaran kooperatif yang baik di kelas membutuhkan waktu untuk membangun
keahlian team-building (pembentukan
tim). Agar interaksi dan kerja kelompok dapat berjalan dengan baik dan lancar,
maka setiap murid perlu diberi peran yang berbeda. Peran yang dimiliki
masing-masing murid membuat semua anggota kelompok merasa dirinya penting dalam
kelompok tersebut.
Manfaat
Pendekatan Konstruktivis Sosial
Para ahli psikologi dan pendidik semakin
mengakui manfaat proses kerja sama para siswa dalam rangka mengkonstruksi makna
bersama dalam kegiatan mengeksplorasi, menjelaskan, mendiskusikan dan mendebat
topik-topik tertentu baik dalam kelompok kecil maupun melibatkan seluruh
anggota kelas. Dengan bekerjasama, siswa pada dasarnya terlibat dalam
pendistribusian kognisi (distributed
cognition); mereka membagi tugas belajar ke banyak siswa dan dapat menarik
basis pengetahuan dan gagasan yang beranekaragam.
Komunitas pembelajar secara khusus
bermanfaat ketika siswa kita berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Komunitas semacam ini menghargai kontribusi semua siswa, dengan memanfaatkan
latar belakang individu, perspektif budaya dan kemampuan unik setiap orang
untuk meningkatkan prestasi anggota kelas secara keseluruhan. Komunitas ini
juga menyediakan konteks di dalamnya siswa dapat membentuk persahabatan lintas
etnis, gender, status sosioekonomi, dan keahlian. Persahabatan semacam ini
sangat penting artinya bagi perkembangan sosial siswa serta pemahaman
multikultural mereka.
Selain
manfaat kognitif, diskusi kelompok mengenai materi pelajaran memiliki manfaat
sosial dan motivasional. Mendiskusikan suatu topik dengan teman sekelas dapat
membantu siswa mendapatkan keterampilan interpersonal yang lebih efektif;
selain itu juga dapat mendatangkan efek yang membangkitkan semangat bagi siswa
serta menanamkan hasrat murni untuk memahami suatu topik secara lebih baik.
Kesimpulan
Pendekatan konstruktivis akan membuat siswa mudah memahami suatu konsep
apabila dalam proses belajar menekankan pada murid agar dapat mengkonstruksi
pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Dengan cara belajar
seperti itu dapat dikatakan proses belajar bermakna, karena tidak saja terkait
dengan ketercapaian materi belajar, namun siswa juga belajar hidup sosial ketika
melakukan diskusi kelompok.
Pendekatan ini memiliki peran dalam proses pembelajaran yang sifatnya
melakukan pemecahan terhadap suatu masalah dan akan mampu menciptakan suasana
belajar yang kondusif. Dalam hal ini, guru harus mengetahui strategi menyusun
kelompok kerja kecil, karena pada dasarnya pembelajaran akan lebih bermakna
apabila dilakukan dengan proses belajar kolaboratif. Jadi, siswa yang belum
jelas akan suatu permasalahan maka ia akan bertanya dengan teman satu
kelompoknya yang dirasa sudah memahami suatu konsep. Demikian juga dengan guru
yang selalu siap menjadi fasilisator bagi siswa yang mengalami permasalahan
dalam proses pembelajaran yang terkait dengan kompetensi dasar tersebut.
Dalam kaitannya dengan mengajar, guru dapat mengembangkan model program
kontruktivis sosial sebagai upaya mempengaruhi perubahan yang baik dalam
perilaku siswa. Pengembangan model tersebut dapat membantu guru meningkatkan
kemampuannya agar lebih mengenal siswa dan menciptakan lingkungan yang lebih
bervariasi bagi kepentingan belajar siswa.
Sumber :
1. J.W. Santrock.
2010. Psikologi Pendidikan.
McGraw-Hill Company.
2. Jeanne Ellis
Ormrod. Psikologi Pendidikan (Edisi
VI, jilid I). Erlangga: Jakarta.
3. Robert E
Slavin.2011.Psikologi Pendidikan (Edisi
IX, jilid II). Indeks: Jakarta.
4. Anita Woolfolk.
2009. Educational Psychology Active
Learning Edition (Edisi X, bagian II). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Las Vegas Casino & Hotel Map | MapyRO
BalasHapusFind 포천 출장샵 your way around the casino, find where everything is located with MapyRo! 광양 출장마사지 Find your 제주도 출장마사지 way around the casino, 울산광역 출장안마 find where everything is 나주 출장샵 located with MapyR!