Sabtu, 21 September 2013

SATU TINDAKAN, SERIBU KATA


Masyarakat dengan struktur budaya patriarkat yang kuat seringkali melihat laki-laki sebagai figur yang perkasa, kuat, tidak mudah lemah dan penuh daya juang. Pandangan seperti ini juga berpengaruh pada pandangan orang terhadap figur seorang bapak. Bapak adalah figur yang selalu kuat, tahan banting, dan tidak mudah menangis. Tak jarang seorang bapak dijadikan sebagai pelindung dan sumber harapan seorang anak. Pemikiran atau pandangan seperti ini sangat mempengaruhi sikap seseorang terhadap figur seorang bapak. Bapak dijadikan sebagai tempat menyandarkan harapan dan tempat anak mengidentifikasikan dirinya. Jika demikian, betapa besarnya peran seorang bapak. Namun, apakah peran ini hanya dimotivasi oleh struktur budaya atau sungguh-sungguh lahir dari kedalaman diri seorang bapak?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengarahkan pandangan kepada  realitas yang sering terjadi di sekitar kita. Di satu sisi, pandangan orang tentang bapak sebagai figur yang kuat, berwibawa, penuh daya juang dan tidak mudah menyerah, benar adanya. Pandangan itu menjadi benar ketika berakar pada realitas. Dalam hal ini, realitas menjadi sumber utama kebenaran. Kebenaran mesti berakar pada realitas bukan pada pendapat atau daya ratio manusia. Jika kebenaran berakar pada ratio, dapat terjadi bahwa realitas dimanipulasi dan diatur sedemikian rupa untuk mempertahankan kebenaran tepatnya mempertahankan diri dan status quo. Di sisi lain, ketika status quo dipertahankan, yang terjadi bukan lagi kebenaran tetapi sebaliknya sebuah kekeliruan bahkan mungkin kesalahan. 
Seorang bapak biasanya menjadi pribadi yang dianggap kuat, kokoh, tahan banting dan berani bertindak. Pribadi kokoh, kuat, dan berpendirian mesti didefinisikan sebagai pribadi yang mampu merealisasikan konsep-konsep ke dalam tindakan nyata bukan pribadi yang ‘cuma’ mampu melahirkan konsep-konsep ideal. Konsep dalam hal ini dimaksudkan sebagai nasihat-nasihat ideal yang disampaikan seorang bapak kepada anak-anaknya.  
Figur seorang bapak telah dipandang sebagai pribadi kokoh laksana batu karang. sebagaimana pengertian sederhana tentang kokoh kuat di atas, seorang bapak dipandang sebagai pribadi yang mampu merealisasikan konsep atau nasihat-nasihat idealnya sendiri. Pandangan ini sekaligus menjadi nasihat. Nasihat bagi anak-anaknya agar anak-anaknya tetap kokoh seperti batu karang meskipun diterpa badai ombak dan angin kencang. Dalam hal ini, nasihat tidak lagi terbatas pada kata-kata tapi juga pada pandangan orang. Nasihat dalam bentuk pandangan itu tidak saja ditujukan kepada anak-anak tetapi juga pada bapak itu sendiri. Peran seorang bapak semakin dituntut. Peran dan berbagai predikat seorang bapak yang telah dikonsepkan dalam pandangan-pandangan itu mesti menjadi kebenaran dalam realitas bukan kebenaran yang tinggal dalam konsep-konsep. Praktisnya, dalam menyampaikan pesan atau nasihat kepada anaknya, seorang bapak mestinya tidak sekadar berkata-kata tetapi juga bertindak. Seorang bapak dengan seribu kata-kata tanpa suatu tindakan sama dengan tidak berkata-kata. Sebaliknya, dengan satu tindakan nyata seorang bapak menyampaikan seribu kata-kata.
Kata-kata dilihat sebagai sebuah konsep yang belum sungguh-sungguh menyentuh realitas. Sedangkan tindakan nyata merupakan suatu kegiatan ‘menceburkan’ diri ke dalam realitas. Kegiatan ‘menceburkan’ diri ke dalam realitas ini lebih sulit dari sekadar berkata-kata, sebab dalam tindakan seseorang mengaktifkan seluruh kemampuan ratio, hati, dan perasaannya ke dalam realitas. Dengan ini, tindakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dari sekadar  berkata-kata. Oleh karena itu, figur seorang bapak  mesti mampu menyampaikan nasihat-nasihatnya melalui tindakan nyata. Misalnya, jika seorang bapak menasihati seorang anak untuk peduli terhadap orang susah, ia mesti menunjukkan tindakan memberi bantuan kepada orang-orang yang susah. Tindakan ini akan lebih mudah terekam dalam alam bawah sadar seorang anak,  kemudian akan naik kepermukaan sadar  dan terwujud dalam tindakan.
Seorang bapak yang kokoh kuat yang mampu merealisasikan nasihat-nasihat idealnya kepada seorang anak adalah figur bapak ideal. Jika seorang bapak menjadi figur yang mampu bertindak bukan cuma berkata-kata, peluang menghasilkan anak-anak yang suka bertindak pun lebih besar. Dengan ini, masyarakat yang dilahirkan adalah masyarakat yang rajin bertindak bukan rajin berkata-kata.         

ANALISIS PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS SOSIAL DALAM PEMBELAJARAN

UMUM

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan bangsa (UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003). Pengertian ini menunjukkan pentingnya pendidikan bagi perkembangan seseorang. Oleh karena itu, berbagai pihak berusaha menciptakan kondisi dan pendekatan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Pada awalnya pembelajar dianggap seperti kertas kosong, sehingga dapat ditulisi apa saja. Anggapan ini menggambarkan bahwa kurang adanya peran aktif pembelajar saat proses pembelajaran, karena mereka hanya menerima apa saja yang diajarkan (pasif). Pembelajaran memang tetap dapat berjalan, namun dapat membuat kreativitas berpikir pembelajar kurang atau bahkan tidak terasah. Hal ini sangat disayangkan, karena setiap pembelajar memiliki kecerdasan masing-masing. Oleh karena itu, dewasa ini pendekatan konstruktivis dilihat sebagai pendekatan yang mampu mendorong peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya secara aktif. Peserta didik tidak lagi dilihat sebagai kertas kosong, tetapi pribadi yang memiliki bekal pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, bekal pengetahuan yang dimiliki peserta didik akan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan pengalaman baru sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Untuk memperoleh pemahaman tentang pendekatan konstruktivis, kita perlu menemukan prinsipnya dalam filsafat konstruktivisme.
Filsafat konstruktivisme dikembangkan oleh Giambatista Vico seorang epistemolog dari Italia. Bagi Vico, pengetahuan selalu merujuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Ada dua bentuk konstruktivisme dalam pembelajaran, yaitu konstruktivisme psikologis/individu dan sosial.
Konstruktivisme psikologis/individu dikembangkan oleh Jean Piaget. Menurut Piaget, pengetahuan terbentuk dalam intelek individu sebagai hasil interaksinya dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan tertentu. Piaget menekankan pada pembentukan makna individual. Sedangkan, konstruktivisme sosial dikembangkan oleh Vygotsky. Pada konstruktivisme sosial, pengetahuan yang sudah terbentuk pada masing-masing individu dikonstruksikan kembali setelah terjadi interaksi dengan obyek, fenomena pengalaman dan lingkungan yang baru. Vygotsky menekankan pada konteks sosial dan kultural yang melingkupi pembelajar. Pada makalah ini, kita akan bersama-masa mengkaji pendekatan konstruktivis sosial.

PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS SOSIAL

Secara umum, pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksikan bersama (mutual). Pendekatan konstruktivis sosial ini sangat dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif Vygotsky (1896-1934). Vygotsky mengatakan bahwa perkembangan anak tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial dan kultural. Dia percaya bahwa perkembangan memori, perhatian, dan nalar melibatkan pembelajaran untuk menggunakan alat yang ada dalam masyarakat, seperti bahasa, sistem matematika, dan strategi memori. Teori Vygotsky menarik banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Dengan kata lain, di samping individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan.
Pendekatan konstruktivis sosial menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di kelas. Prinsip-prinsip pendekatan konstruktivis sosial adalah:
1.    Pengetahuan dibangun/dikonstruksikan bersama.
2.    Pengetahuan dipengaruhi oleh konteks dan situasi sosial tertentu (situated cognition).
Peran guru dalam pembelajaran yaitu harus menciptakan banyak kesempatan bagi murid untuk belajar dengan guru dan teman sebaya dalam mengkonstruksi pengetahuan bersama. Jadi, guru berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing ketimbang sebagai pengatur dan pembentuk pembelajaran anak. Berikut ini beberapa karakteristik kelas konstruktivis sosial, yaitu:
1.    Tujuan penting dari kelas ini adalah konstruksi makna kolaboratif.
2.    Guru memantau perspektif, pemikiran dan perasaan murid.
3.    Guru dan murid saling belajar dan mengajar.
4.    Interaksi sosial mendominasi kelas.
5.    Kurikulum dan isi fisik dari kelas mencerminkan minat murid dan dipengaruhi oleh kultur mereka.
Asumsi penting dari pendekatan konstruktivis sosial adalah situated cognition. Situated cognition mengacu pada ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang. Oleh karena itu, dalam pembelajaran konstruktivis sosial perlu menciptakan situasi seperti yang terjadi di dunia riil.

Guru dan teman sebaya sebagai kontributor bersama untuk pembelajaran murid

Guru dan teman sebaya atau sekelas dapat memberi kontribusi bersama untuk pembelajaran murid. Ada empat alat untuk melakukan metode ini, yaitu scaffolding, pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship), tutoring, dan pembelajaran kooperatif (Rogoff, Turkanis, & Barlett, 2001).
1.    Scaffolding
Scaffolding adalah teknik mengubah level dukungan sepanjang jalannya sesi pengajaran. Orang yang lebih ahli (guru atau teman sebaya yang lebih pandai) menyesuaikan jumlah bimbingannya dengan kinerja murid. Para peneliti menemukan bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman sebaya dalam pembelajaran kolaboratif, murid akan terbantu dalam proses belajarnya (Pressly,dkk., 2001; Yarrow & Topping, 2001).
2.    Pelatihan Kognitif/ Cognitive Apprenticeships
Istilah “pelatihan” atau “magang” (apprenticeship) menunjukkan pentingnya aktivitas dalam pembelajaran dan menjelaskan sifat dari pembelajaran yang ditempatkan dalam suatu konteks. Pendekatan cognitive apprenticeships menggunakan pembimbing yang berpengetahuan luas, atau “master” (pakar) untuk memberikan model, demonstrasi dan koreksi dalam tugas-tugas belajar, serta ikatan pribadi yang memotivasi bagi para peserta magang yang lebih muda atau kurang pengalaman selama mereka melaksanakan dan menyempurnakan berbagai tugas.
Allan Collins, dkk mengatakan bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di sekolah telah terlalu terpisah dari penggunaannya di dunia luar sekolah. Ada banyak model cognitive apprenticeships, tetapi sebagian besar memiliki enam fitur berikut:
a.    Siswa mengamati seorang ahli (biasanya guru) yang memberi model/contoh kinerja.
b.    Siswa mendapat dukungan  eksternal melalui coaching atau tutoring.
c.    Siswa menerima scaffolding konseptual, yang kemudian dihilangkan secara gradual saat siswa menjadi lebih kompeten.
d.   Siswa terus mengartikulasikan pengetahuan mereka, memindahkan pemahamannya tentang proses dan isi yang sedang dipelajari ke dalam bentuk kata-kata.
e.    Siswa merefleksikan kemajuannya, membandingkan problem solving-nya dengan kinerja ahli dan kinerjanya sendiri sebelumnya.
f.     Siswa dituntut untuk mengeksplorasi cara-cara baru untuk menerapkan apa yang mereka pelajari, siswa berinovasi mencari cara-cara yang belum mereka praktikan.
Aspek kunci dari pelatihan kognitif adalah evaluasi atas kapan seorang pembelajar sudah siap diajak ke langkah selanjutnya.
3.    Tutoring
Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan pemula. Tutoring bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak, atau antara anak yang pandai dengan anak yang kurang pandai. Tutoring dapat dilakukan dengan teman sebaya dan teman lintas usia. Tutoring teman sebaya, seorang murid mengajar murid lainnya. Dalam tutoring teman sebaya, teman yang mengajar biasanya teman sekelas. Sedangkan tutoring teman lintas usia, teman yang mengajar biasanya lebih tua usianya. Tutoring teman lintas usia biasanya lebih baik dibandingkan tutoring teman sebaya. Teman yang lebih tua biasanya lebih pandai ketimbang teman sebaya. Para peneliti menemukan bahwa tutoring teman sering kali membantu prestasi murid, tutoring memberi manfaat bagi tutor maupun yang diajari, terutama ketika tutor yang lebih tua adalah murid berprestasi. Mengajari orang lain tentang sesuatu adalah cara terbaik untuk belajar.
4.    Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif terjadi ketika murid bekerja sama dalam kelompok kecil (kelompok belajar) untuk saling membantu dalam belajar. Periset telah menemukan bahwa pembelajaran kooperatif dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan prestasi, apabila syarat-syarat berikut terpenuhi yaitu:
a.    Disediakan penghargaan kepada kelompok. Penghargaan diberikan kepada kelompok sehingga anggota kelompok itu dapat memahami bahwa membantu orang lain adalah demi kepentingan mereka juga.
b.    Individu dimintai pertanggung jawaban. Perlu dilakukan evaluasi kontribusi individu dengan tes individual. Tanpa adanya evaluasi, beberapa murid mungkin akan malas-malasan atau bahkan ada yang merasa diabaikan karena merasa dirinya tidak memberikan kontribusi.
Jika kondisi penghargaan dan akuntabilitas individual di atas terpenuhi, maka pembelajaran kooperatif akan meningkatkan prestasi di grade yang berbeda-beda, dan meningkatkan prestasi di bidang keterampilan dasar seperti pemecahan masalah/problem solving.
Dalam kelompok belajar, biasanya terjadi pertambahan motivasi untuk belajar. Pembelajaran kooperatif juga memperbesar interdependensi dan hubungan dengan murid lain. Dalam sebuah kelompok belajar, murid biasanya mempelajari satu bagian dari unit yang lebih besar dan kemudian mengajarkan bagian itu kepada kelompok. Saat murid mengajar sesuatu kepada orang lain, mereka cenderung belajar lebih mendalam. Ada sejumlah pendekatan kooperatif telah dikembangkan, antara lain Student-Teams-Achievement Divisions (STAD), jigsaw, belajar bersama, investigasi kelompok dan penulisan kooperatif. Pembelajaran kooperatif perlu didukung oleh komunitas yang kooperatif pula.

Menyusun Kelompok Kerja Kecil

Dalam menyusun kelompok kerja, kita perlu membuat keputusan tentang bagaimana menyusun kelompok, membangun keterampilan kelompok, dan menstrukturisasi interaksi kelompok. Pendekatan pembelajaran kooperatif umumnya merekomendasikan kelompok heterogen dengan diversitas dalam kemampuan, latar belakang etnis, status sosio-ekonomi, dan gender. Beberapa pakar merekomendasikan agar saat membentuk kelompok yang heterogen secara etnis dan sosioekonomis, memperhatikan komposisi kelompok itu. Salah satu rekomendasinya adalah tidak membuat komposisi itu terlalu jelas. Jadi, anda bisa memvariasikan karakteristik sosial yang berbeda (etnis, sosio-ekonomi, status dan gender) secara bersamaan. Rekomendasi lainnya adalah tidak membentuk kelompok yang hanya mengandung satu murid minoritas; dengan cara ini murid minoritas itu tidak akan menjadi “pusat perhatian tunggal”. Pembelajaran kooperatif yang baik di kelas membutuhkan waktu untuk membangun keahlian team-building (pembentukan tim). Agar interaksi dan kerja kelompok dapat berjalan dengan baik dan lancar, maka setiap murid perlu diberi peran yang berbeda. Peran yang dimiliki masing-masing murid membuat semua anggota kelompok merasa dirinya penting dalam kelompok tersebut.

Manfaat Pendekatan Konstruktivis Sosial

Para ahli psikologi dan pendidik semakin mengakui manfaat proses kerja sama para siswa dalam rangka mengkonstruksi makna bersama dalam kegiatan mengeksplorasi, menjelaskan, mendiskusikan dan mendebat topik-topik tertentu baik dalam kelompok kecil maupun melibatkan seluruh anggota kelas. Dengan bekerjasama, siswa pada dasarnya terlibat dalam pendistribusian kognisi (distributed cognition); mereka membagi tugas belajar ke banyak siswa dan dapat menarik basis pengetahuan dan gagasan yang beranekaragam.
Komunitas pembelajar secara khusus bermanfaat ketika siswa kita berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Komunitas semacam ini menghargai kontribusi semua siswa, dengan memanfaatkan latar belakang individu, perspektif budaya dan kemampuan unik setiap orang untuk meningkatkan prestasi anggota kelas secara keseluruhan. Komunitas ini juga menyediakan konteks di dalamnya siswa dapat membentuk persahabatan lintas etnis, gender, status sosioekonomi, dan keahlian. Persahabatan semacam ini sangat penting artinya bagi perkembangan sosial siswa serta pemahaman multikultural mereka.
   Selain manfaat kognitif, diskusi kelompok mengenai materi pelajaran memiliki manfaat sosial dan motivasional. Mendiskusikan suatu topik dengan teman sekelas dapat membantu siswa mendapatkan keterampilan interpersonal yang lebih efektif; selain itu juga dapat mendatangkan efek yang membangkitkan semangat bagi siswa serta menanamkan hasrat murni untuk memahami suatu topik secara lebih baik.

Kesimpulan

Pendekatan konstruktivis akan membuat siswa mudah memahami suatu konsep apabila dalam proses belajar menekankan pada murid agar dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Dengan cara belajar seperti itu dapat dikatakan proses belajar bermakna, karena tidak saja terkait dengan ketercapaian materi belajar, namun siswa juga belajar hidup sosial ketika melakukan diskusi kelompok.
Pendekatan ini memiliki peran dalam proses pembelajaran yang sifatnya melakukan pemecahan terhadap suatu masalah dan akan mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif. Dalam hal ini, guru harus mengetahui strategi menyusun kelompok kerja kecil, karena pada dasarnya pembelajaran akan lebih bermakna apabila dilakukan dengan proses belajar kolaboratif. Jadi, siswa yang belum jelas akan suatu permasalahan maka ia akan bertanya dengan teman satu kelompoknya yang dirasa sudah memahami suatu konsep. Demikian juga dengan guru yang selalu siap menjadi fasilisator bagi siswa yang mengalami permasalahan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan kompetensi dasar tersebut.
Dalam kaitannya dengan mengajar, guru dapat mengembangkan model program kontruktivis sosial sebagai upaya mempengaruhi perubahan yang baik dalam perilaku siswa. Pengembangan model tersebut dapat membantu guru meningkatkan kemampuannya agar lebih mengenal siswa dan menciptakan lingkungan yang lebih bervariasi bagi kepentingan belajar siswa.


Sumber :
1.      J.W. Santrock. 2010. Psikologi Pendidikan. McGraw-Hill Company.
2.      Jeanne Ellis Ormrod. Psikologi Pendidikan (Edisi VI, jilid I). Erlangga: Jakarta.
3.      Robert E Slavin.2011.Psikologi Pendidikan (Edisi IX, jilid II). Indeks: Jakarta.
4.      Anita Woolfolk. 2009. Educational Psychology Active Learning Edition (Edisi X, bagian II). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.